Sabtu, 17 Maret 2012

Laporan Spektrofotometri Infra Red


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1. Tujuan Percobaan  :

Untuk mengetahui dan dapat melakukan suatu analisa senyawa dengan menggunakan spektrofotometer infra merah sehingga diketahui gugus-gugus fungsi dari senyawa tersebut.         

 

1.2. Prinsip Percobaan :

Spektro infra red dapat digunakan untuk mempelajari sifat-sifat bahan,dimana struktur zat yang diuji dapat diamati pada spektrofgram panjang gelombang vs transmittansi yang sangat spesifik dan merupakan  sidik jari suatu molekul. Spektrogram zat yang diuji dibandingkan dengan spektrogram dari bahan yang sudah diketahui spktranya.

 

1.3. Landasan Teori

1.3.1 AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI DARI DERIVAT METILEKSTRAK ETANOL DAUN GAMBIR (Uncaria gambir)
IRMA KRESNAWATY dan ACHMAD ZAINUDDIN

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
Jl. Taman Kencana No. 1 Bogor 16151, E-mail : irma.kresnawati@ibriec.org
Jurusan Kimia, Universitas Padjadjaran Jl. Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor-Sumedang

(Terima tgl. 21 - 10 - 2008 – Terbit tgl. 2 - 11 - 2009)

ABSTRAK
Banyak tanaman yang dilaporkan memiliki kandungan senyawa bahan aktif antioksidan dan antibakteri. Salah satu tanaman Indonesia yang memiliki aktivitas ini adalah gambir (Uncaria gambir). Pada penelitian ini, ekstrak etanol daun gambir diubah menjadi derivat metilnya untuk membuatnya lebih larut dalam lemak dan diamati pengaruh derivatisasi tersebut terhadap aktivitas antioksidan di laboratorium kimia organik dan pengujian aktivitas antibakteri di laboratorium mikrobiologi Universitas Padjadjaran. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia dan laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran dari bulan Desember 2004 - Juli 2005. Ekstrak gambir dimetilasi menggunakan dimetil sulfat (DMS) dan dimurnikan menggunakan kromatografi kolom dengan pelarut bergradien (kloroform : metanol = 99:1 ; 98:2 ; 95:5 ; 80:20 ; 70:30; dan 50:50 v/v) dan kemudian menggunakan kloroform : metanol = 99 : 1 v/v. Aktivitas antioksidan menunjukkan penurunan yang tampak dari peningkatan, yaitu : IC50 13,41 ppm untuk ekstrak etanol menjadi 121,81 ppm untuk hasil metilasi. Aktivitas antibakteri juga menunjukkan penurunan setelah dimetilasi karena adanya penurunan diameter hambat pertumbuhan bakteri.

PENDAHULUAN
Beberapa tahun belakangan ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menemukan antioksidan dan antibakteri alami yang bersumber dari tanaman (ANDLAUER dan FRUST, 1998), khususnya tanaman-tanaman asli Indonesia. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada sejumlah ekstrak tanaman yang biasa digunakan sebagai bumbu dan obat tradisional, beberapa diantaranya berpotensi sebagai sumber antioksidan. Salah satu tanaman tradisional yang diteliti adalah gambir (Uncaria gambir) yang memang sejak lama digunakan masyarakat tradisional sebagai antiseptik dan obat sakit perut, serta sebagai salah satu ramuan makan sirih (SARWEDI, 2001) yang merupakan indikasi kandungan antioksidan dan antibakteri dalam tanaman tersebut. Sampai saat ini belum banyak penelitian yang mengupas tentang aktivitas antioksidan dan antibakteri yang dimiliki oleh daun gambir. Aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh senyawa
metabolit sekunder tanaman sangat penting karena dapat berfungsi sebagai  penangkap radikal bebas yang dapat melindungi dari penyakit kardiovaskuler, oksidasi lipoprotein densitas rendah (LDL) dan beberapa penyakit kanker lainnya (AKAGAWA dan SUYAMA, 2001). Selain itu juga diketahui memiliki peran dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme, serangga dan herbivora.

BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia dan laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Universitas Padjadjaran dari bulan Desember 2004-Juli 2005. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun gambir (Uncaria gambir) yang berasal dari Sumatera Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain : agar, 2,2- difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH), dimetil sulfat (DMS), etil asetat, kloroform, metanol, natrium klorida fisiologis, natrium hidroksida (NaOH), nutrient broth. Bakteri uji menggunakan bakteri Escherichia coli sp. Dan Staphylococcus aureus sp. koleksi Laboratorium Mikrobiologi Universitas Padjadjaran. Daun gambir kering yang sudah dihaluskan diekstraksi menggunakan metode soklet dan dimetilasi menggunakan dimetil sulfat (DMS) dan dilakukan isolasi, pengujian aktivitas dan karakterisasi isolat (Gambar 1).

Metilasi Ekstrak Etanol Daun Gambir Menggunakan Dimetil Sulfat (DMS)

Sebanyak 12 g ekstrak etanol ditambahkan ke dalam larutan NaOH (5,2 g dalam 50 ml) dalam labu dasar bulat (250 ml) yang dilengkapi dengan kondensor refluks dan corong tetes pada bagian atas kondensor, serta memiliki bagian potongan V yang dangkal. Campuran didinginkan selama 10 menit dan dimasukkan 12 ml DMS melalui corong tetes selama 15 menit. Larutan dikocok setiap kali penambahan, kemudian dipanaskan dengan refluks selama 15 menit. Setelah itu didinginkan dan dicuci dengan akuades sampai pH netral. Padatan hasil metilasi dikeringkan dalam desikator. Padatan ini dilarutkan dalam etil asetat dan diambil fraksi yang larut dalam etil asetat

Pengujian Aktivitas Antioksidan dengan Penangkapan Radikal Menggunakan 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH)

Sebanyak 1 ml larutan DPPH 0,0010 M ditambahkan 4 ml larutan ekstrak (untuk kontrol ekstrak digantikan metanol). Larutan dikocok sampai homogen dan dibiarkan selama 30 menit. Kemudian absorbansinya diukur terhadap metanol pada panjang gelombang 517 nm menggunakan spektrofotometer UV-Visible (BRANDWILLIAM et al., 1995). Nilai persentase inhibisi yang diwakili oleh nilai IC50 dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Dari nilai persen inhibisi sebagai absis (x) dan konsentrasi ekstrak sebagai ordinat (y) maka dengan metode LR (linear regression) diperoleh persamaan garis dan ditentukan konsentrasi saat persen inhibisi 50% (IC50)
Pengujian Aktivitas Antibakteri dengan Penentuan Diameter Hambat
Sebanyak 19 ml agar steril yang tersuspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah berisi silinder sumuran yang kemudian diisi dengan ekstrak dengan konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm. Lalu diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 370C. Setelah lewat masa inkubasi diameter hambat yang terbentuk berupa daerah bening diukur sebagai parameter untuk menentukan besarnya aktivitas antibakteri (KURNIASIH, 2000).


Gambar 1. Babgian alir penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN
Metilasi dengan Menggunakan Dimetil Sulfat (DMS)

Gambir diperoleh dari daerah Sumatera Barat yang merupakan sentra produksi gambir. Daun gambir kering diekstraksi menggunakan pelarut etanol dengan metode soklet dan dimetilasi menggunakan dimetil sulfat (DMS). Hasil metilasi terdiri dari dua fase, yaitu : padatan dan cairan. Fase cairan diduga terdiri dari etanol yang digunakan sebagai pelarut dan sisa NaOH ataupun DMS yang tidak bereaksi, sedangkan padatan berisi hasil metilasi, yaitu derivat metil ekstrak etanol daun gambir.
Senyawa ini mengendap karena perbedaan kelarutan setelah termetilasi. Senyawa ini menjadi gugus eter yang lebih nonpolar dibanding gugus alkohol sebelumnya. Ekstrak etanol dan hasil metilasinya dibandingkan kandungannya
menggunakan kromatografi lapis tipis (Gambar 2). Dari hasil pemisahan tersebut terlihat bahwa noda hasil metilasi bersifat lebih nonpolar karena adanya tambahan 1 atom karbon dibanding ekstrak etanol awal (Gambar 2). Adanya perbedaan kepolaran dan wujud fisik dari keduanya, mengasumsikan bahwa telah terjadi metilasi pada ekstrak etanol daun gambir.
    
Gambar 2. Noda KLT ekstrak etanol (kiri) dan hasil metilasi (kanan) dengan eluen butanol : air : CH3COOH = 5:4:1

Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Metode Penangkapan Radikal DPPH dan Aktivitas Antibakteri
Pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol dan senyawa hasil metilasi dapat dilihat pada Gambar 3. Dari gambar terlihat adanya peningkatan nilai IC50, dari ekstrak kasar yang awalnya hanya 13,41 ppm (a), menjadi 121,81 ppm (b) untuk ekstrak yang telah termetilasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengubahan atom -H menjadi gugus metil (-CH3) melalui reaksi metilasi telah menurunkan aktivitas antioksidan, yang disebabkan pengurangan atom -H yang merupakan sumber proton untuk penangkapan radikal bebas. Aktivitas antioksidan meningkat seiring dengan penambahan jumlah -OH selama jumlah - OH 2-5, tapi jika jumlah -OH lebih dari 6 maka akan terjadi penurunan aktivitas antioksidan (MIKAMO et al., 2000).

 
Gambar 3. Aktivitas antioksidan ekstrak etanol (a) dan hasil metilasi daun gambir (b).

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan mengukur diameter hambat pertanaman bakteri oleh senyawa isolat. Dari data uji pendahuluan diperoleh rentang konsentrasi yang menunjukkan penghambatan yang signifikan, yaitu pada rentang 100-1.000 ppm. Sehingga dilakukan pengukuran diameter hambat pada rentang tersebut yaitu pada konsentrasi 200, 400, 600, dan 800 ppm
(Tabel 1). Dari hasil uji antibakteri diketahui ekstrak memiliki aktivitas antibakteri dalam berbagai konsentrasi uji terlihat dari terbentuknya zona bening daerah yang ditumbuhi bakteri.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa konsentrasi ekstrak etanol daun gambir berpengaruh pada diameter hambat pertanaman bakteri baik E. coli dan S. aureus (berbeda nyata dengan signifikansi 5% dengan nilai P = 0,000). Sedangkan konsentrasi hasil metilasi tidak menunjukan perbedaan signifikan (P = 0,067) yang berarti tidak ada pengaruh konsentrasi pada diameter hambat pertanaman bakteri. Dan hasil analisis korelasi, antara konsentrasi ekstrak etanol daun gambir dan daya hambat pertanaman, menunjukkan korelasi yang sangat kuat (nilai r = 0,888), sehingga jika konsentrasi ditingkatkan akan meningkatkan nilai daya hambat pertanaman bakteri.

Isolasi Senyawa Aktif Antioksidan Hasil Metilasi Ekstrak Etanol Daun Gambir
Proses isolasi dan pemurnian dilakukan menggunakan metode kromatografi padat cair dengan berdasarkan proses perbedaan kelarutan senyawa tersebut pada fase diam dan eluen yang digunakan. Pemisahan senyawa pada kromatografi kolom I berdasarkan warna noda yang dibagi menjadi empat noda utama yaitu noda A, B, C dan D. Dari keempat senyawa tersebut diuji aktivitas antioksidannya. Karena keempatnya memiliki aktivitas antioksidan, maka dipilih noda yang jumlahnya paling banyak untuk memudahkan pengerjaan selanjutnya dan menunjukkan pemisahan yang lebih baik dibanding noda-noda yang lain, yaitu noda A ( Gambar 4).
Gambar 4. Noda KLT keempat noda hasil kromatografi kolom menggunakan penyemprot DPPH, dengan eluen (1) CHCl3 : MeOH = 8:2 dan (2) CHCl3 : MeOH = 95:5 v/v, keempat noda menunjukkan keaktifan antioksidan dengan DPPH. Noda A memberikan pemisahan yang lebih baik

Pengujian dengan FT-IR
Dari data Gambar 7 terlihat bahwa struktur isolat 1 mengandung beberapa gugus sebagai berikut : gugus –OH (puncak yang lebar dan tajam pada bilangan gelombang 3445 cm-1), cincin aromatik (bilangan gelombang 3010 cm-1), regang –CH- alifatik simetri dan simetri (bilangan gelombang 2927 dan 2855 cm-1) , karbonil C=O (bilangan gelombang 1738 cm-1), C=C (bilangan gelombang 1634 cm-1), dan adanya regang C-O (bilangan gelombang 1170 cm-1). Dari hasil interpretasi ini diduga isolat 1 merupakan senyawa golongan polifenol dan didukung oleh uji fitokimianya dimana isolat 1 memberikan warna hijau saat ditambahkan FeCl3.

Dari hasil analisis FT-IR diperoleh bahwa isolat 2 memiliki gugus -OH yang jauh lebih sedikit daripada isolat I dan serapan isolat II pada 1100-1200 cm-1 yang menandakan gugus C-O lebih banyak pada isolat 2 dibanding isolat 1. Disamping itu intensitas serapan –Chalifatik pada isolat II jauh lebih tinggi dibanding isolat 1, yang menandakan gugus -CH3 (hasil metilasi) yang lebih banyak dibanding isolat 1. Hal ini dapat menjadi dasar dugaan bahwa isolat 2 lebih mengalami metilasi daripada isolat 1, dasar ini juga diperoleh dari perbedaan kelarutan yang cukup signifikan antara keduanya.






Gambar 7. Spektrum inframerah isolat 1 (atas) dan 2 (bawah)


I.                   KESIMPULAN

Ekstrak etanol daun gambir yang termetilasi menunjukkan aktivitas antioksidan dan antibakteri yang lebih kecil dibandingkan sebelum dimetilasi. Melalui kromatografi kolom diperoleh dua isolat dengan perbedaan warna, kelarutan dan aktivitas antioksidan dan antibakterinya. Dari hasil spektrofotometer UV-Visible dan inframerah diduga senyawa kedua isolat tersebut adalah golongan fenolik. Isolat 1 memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan isolat 2.

DAFTAR PUSTAKA

v       AKAGAWA, M. and K. SUYAMA. 2001. Amine oxidase lie activity of flavonoid. Europe Jurnal Biochemryist. 268, 1953-1963.
v       ANDLAUER,W. and P. FRUST. 1998. Antioxidative power of phytochemical with special references to cereals. Cereals Food World. 4(5): 356-360
v       COWAN, M.M. 1999. Plants product as antimicrobial agent. Journal of American Society for Microbiology. 12(4): 564-582.
v       DARMAWAN, A. dan N. ARTANTI. 2006. Isolasi dan identifikasi senyawa aktif antioksidan dari ekstrak air daun benalu (Dendrophthoe pentandra L. Miq.) yang tumbuh pada cemara (Casuari sp.). Widyariset 9(3):43-51.
v       HALL, C. 2001. Sources of natural antioxidant : oilseeds, nuts, cereals, legumes, animal product and microbial sources. J. Pokorny, N. Yanishlieva & M. Gordon. Antioxidant in Food. Woodhead Publishing Limited. New York.
v       HERMAWAN, J. 2004. Keaktifan Antioksidan Derivat Asetil Ekstrak Etanol Daun Gambir pada Sistem Lipid Tembaga (II) Asetat. Skripsi. Universitas Padjadjaran.
v       KURNIASIH, R. 2000. Uji Antibakteri dan Uji Antijamur. Laporan Kerja Praktek. Universitas Padjadjaran. (Tidak dipublikasikan).
v       MENDOZA, L., M. WILKENS, and A. URZUA. 1997. Antimicrobial study of the resinous exudates of diterpenoids and flavonoid isolated from some Chilean Pseudognaphalium (Asteraceae). Jurnal Ethnopharmacology. 58: 85-88.
v       MIKAMO, E., Y. OKADA., A. SEMMA., Y. OTTO, and I.
v       MORIMOTO. 2000. Studies on structural correlationship in antioxidant activity (2). Tokyo..
v       SARWEDI, E. 2001. Gambir. Teknologi tepat guna agrobisnis kecil Sumatra Barat. http\\ www.kompas/gambir.

 


1.3.2. Spektrofotometry
Spektrofotometri merupakan suatu metoda analisa yang didasarkan pada pengukuran serapan  sinar monokromatis oleh suatu lajur larutan berwarna pada panjang gelombamg spesifik dengan menggunakan monokromator prisma atau kisi difraksi dengan detektor fototube.
Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran menggunakan spektrofotometer ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan spektrofotometri.        Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangdan dialirkan oleh suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen yang berbeda.

 

1.3.3. Spektrofotometri Infra Merah

Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah meruakan suatu metode yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm atau pada Bilangan Gelombang 13.000 – 10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik, artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah rambatan.
Gambaran berkas radiasi elektromagnetik diperlihatkan pada Gambar 1 berikut :
Berkas radiasi gelombang elektromagnetik
Gambar 1: berkas radiasi elektromagnetik
Tabel pembagian spektrum 
Tabel 1 : Pembagian Gelombang Elektromagnetik
Gambar pembagian radiasi elektromagnetik
Gambar 2 : Pembagian Gelombang Elektromagnetik

Saat ini telah dikenal berbagai macam gelombang elektromagnetik dengan rentang panjang gelombang tertentu. Spektrum elektromagnetik merupakan kumpulan spektrum dari berbagai panjang gelombang. Berdasarkan pembagian daerah panjang gelombang pada Tabel 1 dan Gambar 2, sinar infra merah dibagi atas tiga  daerah, yaitu:
a)      Daerah Infra Merah dekat.
b)      Daerah Infra Merah pertengahan.
c)      Daerah infra merah jauh..
Dari pembagian daerah spektrum elektromagnetik tersebut diatas, daerah panjang gelombang yang digunakan pada alat spektrofotometer infra merah adalah pada daerah infra merah pertengahan, yaitu pada panjang gelombang 2,5 – 50 µm atau pada bilangan gelombang 4.000 – 200 cm-1. Satuan yang sering digunakan dalam spektrofotometri infra merah adalah Bilangan Gelombang (Nu bar) atau disebut juga sebagai Kaiser.

Spektrofotometer Inframerah Transformasi Fourier

Pada dasarnya Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (disingkat FTIR) adalah sama dengan Spektrofotometer Infra Red disperse, yang membedakannya adalah pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra merah melewati contoh. Dasar pemikiran dari Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah dari persamaan gelombang yang dirumuskan oleh Jean Baptiste Joseph Fourier (1768-1830) seorang ahli matematika dari Perancis.
Dari deret Fourier tersebut intensitas gelombang dapat digambarkan sebagai daerah waktu atau daerah frekwensi. Perubahan gambaran intensitas gelobang radiasi elektromagnetik dari daerah waktu ke daerah frekwensi atau sebaliknya disebut Transformasi Fourier (Fourier Transform).
Selanjutnya pada sistim optik peralatan instrumen Fourier Transform Infra Red dipakai dasar daerah waktu yang non dispersif. Sebagai contoh aplikasi pemakaian gelombang radiasi elektromagnetik yang berdasarkan daerah waktu adalah interferometer yang dikemukakan oleh Albert Abraham Michelson (Jerman, 1831).

Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red

Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti pada gambar disamping ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium Telluride (disingkat MCT). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah.

Cara Kerja Alat Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red

Sistim optik Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red seperti pada gambar disamping ini dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Dengan demikian radiasi infra merah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang bergerak ( M ) dan jarak cermin yang diam ( F ). Perbedaan jarak tempuh radiasi tersebut adalah 2 yang selanjutnya disebut sebagai retardasi ( δ ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor terhadap retardasi disebut sebagai interferogram. Sedangkan sistim optik dari Spektrofotometer Infra Red yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai sistim optik Fourier Transform Infra Red.
Pada sistim optik Fourier Transform Infra Red digunakan radiasi LASER (Light Amplification by Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik.
Detektor yang digunakan dalam Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red adalah Tetra Glycerine Sulphate (disingkat TGS) atau Mercury Cadmium Telluride (disingkat MCT). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekwensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat, tidak dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi infra merah.

Interaksi Sinar Infra Merah Dengan Molekul
Bila ikatan bergetar, maka energi vibrasi secara terus menerus dan secara periodik berubah dari energi kinetik ke energi potensial dan sebaiknya. Jumlah energi total adalah sebanding dengan frekwensi vibrasi dan tetapan gaya ( k ) dari pegas dan massa ( m1 dan m2 ) dari dua atom yang terikat. Energi yang dimiliki oleh sinar infra merah hanya cukup kuat untuk mengadakan perubahan vibrasi.
Panjang gelombang atau bilangan gelombang dan kecepatan cahaya dihubungkan dengan frekwensi melalui bersamaan berikut : Energi yang timbul juga berbanding lurus dengan frekwesi dan digambarkan dengan persamaan Max Plank :
E = Energi, Joule

h = Tetapan Plank ; 6,6262 x 10-34 J.s

c = Kecepatan cahaya ; 3,0 x 1010 cm/detik

n = indeks bias (dalam keadaan vakum harga n = 1)

= panjang gelombang ; cm

= frekwensi ; Hertz

Dalam spektroskopi infra merah panjang gelombang dan bilangan gelombang adalah nilai yang digunakan untuk menunjukkan posisi dalam spektrum serapan. Panjang gelombang biasanya diukur dalam mikron atau mikro meter ( m ).
Sedangkan bilangan gelombang adalah frekwensi dibagi dengan kecepatan
cahaya, yaitu kebalikan dari panjang gelombang dalam satuan cm-1. Persamaan dari hubungan kedua hal tersebut diatas adalah :
c = kecepatan cahaya : 3,0 x 1010 cm/detik

k = tetapan gaya atau kuat ikat, dyne/cm

= massa tereduksi

m = massa atom, gram
Metode spektroskopi inframerah merupakan suatu metode yang meliputi teknik serapan (absorption), teknik emisi (emission), teknik fluoresensi (fluorescence). Komponen medan listrik yang banyak berperan dalam spektroskopi umumnya hanya komponen medan listrik seperti dalam fenomena transmisi, pemantulan, pembiasan, dan penyerapan. Penemuan infra merah ditemukan pertama kali oleh William Herschel pada tahun 1800. Penelitian selanjutnya diteruskan oleh Young, Beer, Lambert dan Julius melakukan berbagai penelitian dengan menggunakan spektroskopi inframerah. Pada tahun 1892 Julius menemukan dan membuktikan adanya hubungan antara struktur molekul dengan inframerah dengan ditemukannya gugus metil dalam suatu molekul akan memberikan serapan karakteristik yang tidak dipengaruhi oleh susunan molekulnya. Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul. Dapat berupa eksitasi elektronik, vibrasi, atau rotasi. Rumus yang digunakan untuk menghitung besarnya energi yang diserap oleh ikatan pada gugus fungsi adalah:
  • E = h.ν = h.C /λ = h.C / v
  • E = energi yang diserap
  • h = tetapan Planck = 6,626 x 10-34 Joule.det
  • v = frekuensi
  • C = kecepatan cahaya = 2,998 x 108 m/det
  • λ = panjang gelombang
  • ν = bilangan gelombang
Dasar Spektroskopi Infra Merah dikemukakan oleh Hooke dan didasarkan atas senyawa yang terdiri atas dua atom atau diatom yang digambarkan dengan dua buah bola yang saling terikat oleh pegas seperti tampak pada gambar disamping ini. Jika pegas direntangkan atau ditekan pada jarak keseimbangan tersebut maka energi potensial dari sistim tersebut akan naik.
Setiap senyawa pada keadaan tertentu telah mempunyai tiga macam gerak, yaitu :
  1. Gerak Translasi, yaitu perpindahan dari satu titik ke titik lain.
  2. Gerak Rotasi, yaitu berputar pada porosnya, dan
  3. Gerak Vibrasi, yaitu bergetar pada tempatnya..
Metode Spektroskopi inframerah ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa yang belum diketahui,karena spektrum yang dihasilkan spesifik untuk senyawa tersebut. Metode ini banyak digunakan karena:
a. Cepat dan relatif murah
b. Dapat digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsional dalam molekul
c. Spektrum inframerah yang dihasilkan oleh suatu senyawa adalah khas dan oleh karena itu dapat menyajikan sebuah fingerprint (sidik jari) untuk senyawa tersebut.
Tabel . Serapan Khas Beberapa Gugus fungsi
Gugus
Jenis Senyawa
Daerah Serapan (cm-1)
C-H
Alkana
2850-2960, 1350-1470
C-H
Alkena
3020-3080, 675-870
C-H
Aromatic
3000-3100, 675-870
C-H
alkuna
3300
C=C
alkena
1640-1680
C=C
aromatik (cincin)
1500-1600
C-O
Alcohol, eter, asam karboksilat, ester
1080-1300
C=O
aldehida, keton, asam karboksilat, ester
1690-1760
O-H
alkohol, fenol(monomer)
3610-3640
O-H
alkohol, fenol (ikatan H)
2000-3600 (lebar)
O-H
asam karboksilat
3000-3600 (lebar)
N-H
Amina
3310-3500
C-N
Amina
1180-1360
-NO2
Nitro
1515-1560, 1345-1385

Jenis Vibrasi Molekul
Ada dua jenis vibrasi yaitu:
  • 1. Vibrasi ulur (Stretching Vibration), yaitu vibrasi yang mengakibatkan perubahan panjang ikatan suatu ikatan
  • 2. Vibrasi tekuk (Bending Vibrations), yaitu vibrasi yang mengakibatkan perubahan sudut ikatan antara dua ikatan
Vibrasi tekuk itu sendiri dibagi lagi menjadi empat:
  • 1. Scissoring
  • 2. Rocking
  • 3. Wagging
  • 4. Twisting
Perubahan Energi Vibrasi
Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi molekul sangat khas untuk suatu molekul tertentu dan biasanya disebut vibrasi finger print. Vibrasi molekul dapat digolongkan atas dua golongan besar, yaitu :
  1. Vibrasi Regangan (Streching)
  2. Vibrasi Bengkokan (Bending)

Vibrasi Regangan (Streching)
Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua macam, yaitu:

  1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam satu bidang datar.
  2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah tetapi masih dalam satu bidang datar.

Vibrasi Bengkokan (Bending)
Jika sistim tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu :
  1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri tetapi masih dalam bidang datar.
  2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri dan masih dalam bidang datar.
  3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari bidang datar.
  4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang datar.

Penggunaan dan Aplikasi
Spektroskopi inframerah biasanya digunakan untuk penelitian dan digunakan dalam industri yang sederhana dengan teknik yang sederhana dan untuk mengontrol kualitas. Alat spektroskopi inframerah cukup kecil dan mudah dibawa kemana-mana dan kapanpun dapat digunakan. Dengan meningkatnya teknologi komputer memberikan hasil yang lebih baik. Spektroskopi inframerah mempunyai ketepatan yang tinggi pada aplikasi kimia organik dan anorganik. Spektroskopi inframerah juga sukses kegunaannya dalam semikonduktor mikroelektronik: untuk contoh, spektroskopi inframerah dapat digunakan untu semikonduktor seperti silikon, gallium arsenida, gallium nitrida, zinc selenida, silikon amorp, silikon nitrida, dan sebagainya.
Efek isotop
Isotop yang berbeda memberikan bilangan gelombang yang berbeda pada spektroskopi inframerah. Seperti contoh frekuensi regangan O-O memberikan nilai 832 dan 788 cm -1 untuk ν(16O-16O) dan ν(18O-18O) melalui hubungan O-O sebagai sebuah spring, bilangan gelombang,ν dapat dihitung:
\nu = \frac{1}{2 \pi} \sqrt{\frac{k}{\mu}}
dimana k nilai konstan untuk ikatan, dan μ massa tereduksi untuk sistem A-B
\mu = \frac{m_A m_B}{m_A + m_B}
(mi massa dari atom i).
Massa reduksi untuk 16O-16O dan 18O-18O dapat diperkirakan antara 8 dan 9. Sehingga
\frac{\nu_{^{16}O}}{\nu_{^{18}O}} = \sqrt{\frac{9}{8}} \approx \frac{832}{788}.

Daerah Identifikasi
Vibrasi yang digunakan untuk identifikasi adalah vibrasi bengkokan, khususnya goyangan (rocking), yaitu yang berada di daerah bilangan gelombang 2000 400 cm-1. Karena di daerah antara 4000 2000 cm-1 merupakan daerah yang khusus yang berguna untuk identifkasi gugus fungsional. Daerah ini menunjukkan absorbsi yang disebabkan oleh vibrasi regangan. Sedangkan daerah antara 2000 400 cm-1 seringkali sangat rumit, karena vibrasi regangan maupun bengkokan mengakibatkan absorbsi pada daerah tersebut.
Dalam daerah 2000 400 cm-1 tiap senyawa organik mempunyai absorbsi yang unik, sehingga daerah tersebut sering juga disebut sebagai daerah sidik jari (fingerprint region). Meskipun pada daerah 4000 2000 cm-1 menunjukkan absorbsi yang sama, pada daerah 2000 400 cm-1 juga harus menunjukkan pola yang sama sehingga dapat disimpulkan bahwa dua senyawa adalah sama.


Penafsiran Spektrum Inframerah
Untuk penafsiran spektrum inframerah tidak ada aturan kaku, namun  syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi sebagai upaya untuk  menafsirkan suatu
spektrum adalah
1.      Spektrum harus terselesaikan dan intensitas cukup memadai
2.      Spektrum diperoleh dari senyawa murni
3.      Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga pita yang teramati sesuai dengan frekuensi atau panjang gelombangnya. Kalibrasi dapat dilakukan dengan menggunakan standar yang dapat diandalkan, seperti polistirena film.
4.      Metode persiapan sampel harus ditentukan. Jika dalam bentuk larutan, maka konsentrasi larutan dan ketebalan sel harus ditunjukkan.
Penyerapan sinar uv-vis dibatasi pd sejumlah gugus fungsional/gugus kromofor (gugus dengan ikatan tidak jenuh) yang mengandung electron valensi dengan tingkat eksitasi yang rendah. Dengan melibatkan 3 jenis electron yaitu : sigma, phi dan non bonding electron. Kromofor-kromofor organic seperti karbonil, alken, azo, nitrat dan karboksil mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Panjang gelombang maksimalnya dapat berubah sesuai dengan pelarut yang digunakan. Auksokrom adalah gugus fungsional yang mempunyai elekron bebas, seperti hidroksil, metoksi dan amina. Terikatnya gugus auksokrom pada gugus kromofor akan mengakibatkan pergeseran pita absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar (bathokromik) yang disertai dengan peningkatan intensitas (hyperkromik).

Komponen dari suatu spektrofotometer berkas tunggal :
  1. Suatu sumber energy cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spectrum dimana instrument itu dirancang untuk beroperasi.
  2. Suatu monokromator, yakni suatu piranti untuk mengecilkan pita sempit panjang-panjang gelombang dari spectrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
  3. Suatu wadah sampel (kuvet)
  4. Suatu detector, yang berupa transduser yang mengubah energy cahaya menjadi suatu isyarat listrik.
  5. Suatu pengganda (amplifier), dan rangkaian yang berkaitan membuat isyarat listrik itu memadai untuk di baca.
  6. Suatu system baca (piranti pembaca) yang memperagakan besarnya isyarat listrik, menyatakan dalam bentuk % Transmitan (% T) maupun Adsorbansi (A).
























BAB II

PROSEDUR KERJA

2.1 Alat dan Bahan
a. Alat-alat   yang   digunakan
Pada   penelitian   ini   adalah   alat-alat   gelas   yang   lazim   digunakan   dilaboratorium, desikator, pengaduk megnetik, neraca analitis, penangas air, labu hisap Buchner, vakum desikator, spektrofotometer ultraungu-tampak merek Hitachi model  50/20,spektrometer  IR dan Melting point.

b. Bahan-bahan yang digunakan
CuCl .2HO p.a Merek, MnCl  p.a Merek,akuades, akuabides, 1,5 diphenyl carbazone, p.a Merek,  aniline p.a Merek, asam asetat ( pH = 6 ) dan etanol.

2.2. Prosedur Penelitian
Pembuatan Larutan
Larutan yang akan dibuat pada penelitian ini adalah :  larutan dari ligan-ligan 1,5- difenilkarbazone dan analine serta larutan dari  ion-ion logam yang akan   digunakan.yaitu: ion logam dari mangan dan copper. Adapun pelarut yang digunakan untuk membuat larutan adalah aquabidest dan etanol.

Sintesis Senyawa Kompleks
a.   Sintesis Ligan Basa Schiff
Ligan basa Schiff disintesi dengan mencampur 1,5-difenilkarbazone  dan   aniline   dengan perbandingan mol 1:1 sebanyak 2,4026 gr  (1x10-2 mol) 1,5-difenilkarbazone dalam 10 mL etanol dicampur  dengan 0,92 mL  (1x10-2     mol)   anilin dalam 10 mL etanol. Campuran yang terbentuk dilarutkan kembali ke   dalam 20 mL etanol  kemudian diaduk menggunakan pengaduk magnet.Sambil direfluks selama 2 jam pada suhu 75-800. Setelah 2 jam basa Schiff yang terbentuk dengan penyaring vakum.Kemudian dikeringkan pada temperatur      ruang   dalam desikator. Setelah kering ditimbang sampai diperoleh berat konstan.
b. Sintesis Senyawa Kompleks Ion Logam Mn(II) dan Ion Logam  Cu(II)  dengan      Ligan Basa  Schiff
Sintesis kompleks Cu(II) dengan ligan basa Schiff dilakukan dengan mencampur ligan basa Schiff dan ion logam Cu(II) dengan perbandingan mol 1:1. Kemudian  campuran diaduk dengan pengaduk magnetik sambil direfluks selama 2 jam pada suhu 75-800C, lalu hasil reaksi disaring. Setelah itu, hasil residu dicuci dengan aquabidest beberapa kali untuk mendapatkan kompleks yang murni.Kristal   kemudian   dikeringkan  dalam  vakum desikator  pada  temperatur  ruang   dan setelah itu ditimbang beratnya sampai diperoleh  berat konstan. Prosedur yang sama dilakukan terhadap ion logam Mn(II).
c.  Rekristalisasi
Untuk tujuan analisis dan karakterisasi, maka kristal yang diperoleh dari hasil sintesis dilakukan rekristalisasi yaitu dengan melarutkan kristal senyawa   kompleks ke dalam 5 mL H2SO4(p), lalu diaduk dengan  stirrer. Sambil  diaduk, ke dalamnya ditambahkan secara perlahan-lahan aquabidest  sebanyak   250   mL,   maka akan terbentuk kembali kristal dari senyawa kompleks, disaring.Kristal yang diperoleh dicuci dengan aquabidest berulang kali untuk mendapatkan kristal  murni,kemudian dikeringkan pada temperature ruang.Hasil Kristal yang    diperoleh ditimbang dan selanjutnya kristal dapat digunakan untuk menentukan keperluan analisis.

Karakterisasi Senyawa Kompleks
a.  Prosentasi Hasil
Hasil sintesis kering ditimbang serta dibandingkan hasilnya secara teori.
b.  Karakterisasi Struktur Kristal dan Sifat-sifat Spektroskopi
Karakterisasi  struktur dan   penentuan   spektra   dilakukan   pada   larutan   ligan basa Schiff (L) dan senyawa kompleks [ML] pada konsentrasi, temperatur dan waktu tertentu.Adapun pengukuran spektra bertujuan untuk melihat    perbedaan antara larutan-larutan tersebut ditinjau dari absorbansinya. Pengukuran dilakukanm dengan menggunakan spektrafotometer berkas ganda, alat diatur  daerah panjang gelombang (λ)  untuk   mendapatkan  λmax,   kecepatan   scanning   serta absorbansinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN
 2.2.1. Sintesis  Senyawa  Kompleks  dari   Logam  Cu(II) Dengan  Ligan Basa    Schiff dari 1,5 Dimetylkarbazona dan Anilin.
Ligan basa Schiff dibuat dari reaksi 1,5 Dimetylkarbazona ditambah anilin dalam pelarut etanol, lalu   direfluks   selama   1   jam,   kemudian   hasilnya  dicuci   dan   dikeringkan  dalam   desikator.   Hasil yang   diperoleh   sebanyak  
3,14   gr.   Kemudian   ligan   ditambah   CuCl .H O   dengan   memvariasikan                                                                       perbandingan mol antara ion logam Cu(II) dengan ligan disertai dengan penambahan asam asetat pH  6.   Setiap variasi  mol diukur  panjang     gelombang    maksimum  dengan mengunakan spektrofotometer   UV-Vis,  kemudian   hasil   yang diperoleh ditentukan  perbandingan stoikhiometrinya melalui absorbansinya. Dengan cara yang sama dilakukan untuk ion logam Mn(II) hasilnya diperoleh sebanyak 2,27 gram.
Dari   hasil   pengukuran   diperoleh   untuk   ligan   basa   Schiff   (L)  λ maks=312,2 nm dan panjang gelombang maks masing-masing untuk perbandingan stoikiometri ion logam Cu(II) dengan ligan basa Schiff ( M2  -  L ) 1:1 λ maks = 328 nm; untuk ion logam Cu(II): ligan basa Schiff (M2 - L ) 1:2 λ maks = 327,6 nm; untuk ion logam Cu(II) : ligan basa Schiff    (M2  - L ) 1:3   λ maks = 328,3 nm. Serta perbandingan stoikiometri ion logam Mn(II) : ligan basa Schiff( M1 - L ) 1:1      λ maks = 323,3 nm; untuk ion logam Mn(II) : ligan basa Schiff     ( M1 - L ) 1:2  λ maks = 322,3 nm ( data terlampir) .
Dari hasil perbandingan  mol melalui λ maks yang diperoleh  maka  perbandingan  stoikiometri diperoleh1:1 baik untuk sintesis ion Mn(II) maupun Ion  Cu(II) terhadap ligan.

2. 2.2 Sintesis Kompleks Ligan Basa Schiff dengan Ion logam ( M-L)
Melalui   perbandingan   mol   yang   diperoleh   pada  variasi   mol   ion   logan   Mn(II)   maupun   ion   logam Cu(II)   dengan   basa   Schiff   (M -L   dan   M  L)   , yaitu   perbandingan   ion   logam      basa   Schiff   1   :   1 dilakukan sintesis kompleks ion logam dengan basa Schiff. Dari hasil Sintesis kompleks Cu(II) basa Schiff   diperoleh   persentase   hasil   sebesar   75%   dan  hasil   Sintesis komples Mn(II) basaSchiff diperoleh persentase                                                            hasil  sebesar   70%. Hasil  Sintesis  kompleks  dikarakterisasi dengan  menentukan TL, analisis spektrofotometer UV-Vis dan analisis spektrometer inframerah.

2.2. 3. Hasil Penentuan Titik Lebur
 Dari   hasil   pengukuran   TL   dengan   menggunakan  melting   point   diperoleh   T.L untuk   ligan   basa Schiff   (L)   157-158 0C   ,   kompleks   Mn(II)-basa 0C,  kompleks   Mn(II)-basa   Schiff   (M -L)  158-159 0C, kompleks                                                                                                                                                                                      Cu   (II)-basa  1 Schiff (M2-L) 160-1610C.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
4. Analisis Struktur Kristal dan Sifat-sifat Spektroskopi
Data   spektra   elektronik   dari   basa   Schiff   dan   kompleksnya   menunjukkan   puncak-puncak   utama  pada 312,2 nm untuk L, 322 nm untuk kompleks Mn+2 – L; 328 nm untuk Cu+2 – L
Signifikan terpengaruh  oleh pengkelatan dimana pita ini bergeser ke panjang gelombang yang lebih   panjang sekitar 14     16 nm sebanding   dengan  penambahan   intensitasnya.Pergeseran ini berkaitan dengan sumbangan pasangan elektron dari nitrogen basa Schiff   kepada ion logam (N- M) baik untuk ion Cu+2 maupun
Melalui data inframerah dari hasil sintesis basa Schiff antara anilin dengan 1,5 dimetylkarbazona  menunjukkan beberapa pita serapan yang karakteristik yakni gugus amin (-N-H ) pada 3250-3500 cm gugus karbonil                                                                          (-C=O ) pada 1690 - 1760 cm  , gugus Ar-H pada 3300-2900 cm   dan gugus – C-N pada 1446 – 1492 cm-1 serta tidak memiliki kaitan terhadap pita serapan dengan logam kelat yaitu   ditandai   dengan   adanya   gugus   imino.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
            Hal   ini   dibuktikan   dengan   hasil   karakterisasi   pita serap M-L gugus fungsi  dominan yang berperan dalam membentuk donor pasangan elektron seperti   tertera   pada   gambar   4   dan   6   dimana   gugus   imino   dari   ligan   mengalami   penurunan intensitas pada daerah 3000-3250 secara drastis setelah diinteraksikanterhadap  M                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Sedangkan gugus-gugus   lainnya   tidak   mengalami   perubahan   yang   signifikan  hal ini   ditunjukkan   dengan munculnya pita pada daerah serapan yang sama.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 

























BAB III
GAMBAR RANGKAIAN

3.1. Gambar Peralatan












BAB IV

DATA PENGAMATAN

Tabel 1. Kondisi dan program gradien linier pada alat KCKT untuk uji kemurnian relatif isolat komponen antibakteri biji atung
Tabel 2. Parameter dan pengaturan alat DI-MS untuk identifikasi komponen





BAB   V

PENGOLAHAN  DATA

1.Hasil  dan Pembahasan
Tabel 3. Persentase kemurnian relatif dan waktu retensi komponen utama dari isolat-isolat  komponen antibakteri biji atung  menggunakan KCKT (gradien air -metanol, detektor UV pada l 280 atau 254 nm)

Tabel 4. Karakteristik spektrum serapan 12 isolat komponen antibakteri biji atung di dalam metanol hasil analisis dengan spektrofotometer UV-Vis (l = 200-400 nm dan A = 0.00-1.00)
1)a = A/b.c1, dimana; A = absorbansi hasil pengukuran, b = tebal kuvet (1 cm) dan c1 = konsentrasi sampel dalam gram per liter (g/L).
2)e = A/b.c2, dimana; A = absorbansi hasil pengukuran, b = tebal kuvet (1 cm) dan c2 = konsentrasi sampel dalam mol per liter (mol/L).
Karena berat molekul (BM) masing-masing isolat komponen belum dike tahui, maka prediksi nilai e menggunakan nilai BM
dari skala 100-500, sehingga nilai e (puncak 1, lmaks = 214 nm) = nilai a x BM (prediksi).
3)dalam etanol 95%; 4)puncak 3.
Gambar 4. Spektrum serapan isolat komponen 9 dalam metanol p.a. (spektrofotometer UV-Vis: l = 200-400 nm, A = 0.00-1.00)
Gambar 5. Kromatogram isolat komponen 9 hasil analisis menggunakan alat DI-MS
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilasksanakan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Perbandingan mol antara ion logam Cu(II) dan Mn(II) dengan ligan basa Schiff adalah 1 : 1 serta   kompleks   yang   terbentuk   adalah   pita   serapan   dengan   logam   kelat   yaitu   ditandai dengan adanya gugus imino
2.      Hasil    analisis    struktur    kristal    dari    data-data     spektra    elektronik     uv-vis   pada     M-L   menunjukkan adanya pergeseran pita serapan yang signifikan terjadi pada transisi gugus *  imino   (-NH-)   dari    π –  π.   dimana   pita   ini   bergeser   ke   panjang   gelombang   yang   lebih  panjang sekitar 14 – 16 nm sebanding dengan penambahan intensitasnya.
3.      Pergeseran ini  berkaitan   dengan   sumbangan   pasangan   elektron  dari   nitrogen   basa   Schiff    kepada   ion logam (N-M) baik untuk ion Cu+2 maupun ion Mn+2.
4.      Hal diatas didukung dengan data analisis inframerah yang karakteristik yakni gugus amin  -1 (-N-H ) pada 3250-3500 cm  serta, dimana gugus imino dari ligan mengalami penurunan intensitas   pada   daerah   3000-3250   secara   drastis   setelah   diinteraksikan   terhadap  M.  Sedangkan gugus-gugus lainnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.
5.      Berdasarkan   perbedaan   jari-jari  ion   logam     antara    ion   Mn(II)   dan   ion   Cu(II)   untuk  perbandingan stoikiometri tidak berpengaruh dalam membentuk kompleks kelat dengan   basa Schiff. Untuk data inframerah ion Cu(II) –L mengalami perubahan  pita serapan yang  sangat signifikan di daerah 3000-3500 cm-1 pada gugus imino sedangkan untuk ion Mn(II)-L  tidak terlalu mengalami perubahan yang berarti.
6.2 Saran
Bebarapa   saran   yang   perlu   dikemukakan   untuk   penyempurnaan   penelitian   ini   adalah   sebagai berikut:   untuk   kompleks   ion   logam   Cu(II)      ligan  basa   Schiff     perlu   diteliti   lebih   lanjut   pada mekanisme reaksi kompleks serta analisis struktur yang lebih lengkap agar dapat ditindak lanjuti
sesuai dengan peruntukannya sebagai bahan untuk analisis dibidang biologi dan klinik.






















DAFTAR PUSTAKA

Angelici,  R.   J.,1997,  Synthesis   and   Technique   in   Inorganik   Chemistry, W.B.   Saunder  Copany,   Philadelphia.
Campos-Ferdinandes, Cristian, S.,et al. 2003 Synthsis, X-Ray Studies and Magnetic Properties of  Dinuclear   Ni(II)   dan   Cu(II)   Complexxes   Bridged   By   Azo-2,2-bipyridine   Ligand. J. Of Chemistry. German. Vol. 934. hal. 988-994
Cotton.   F. A.  and Wilkinson.   1989.   Kimia Anorgank Dasar. Penerjemah S. Suharto. UI   Press.  Jakarta. 665 hlm
Dan. Li., L., Rongzhen, Q. Zhiyu, S. Xuhua, F, Xiaolong, C. Jiwen. 2001. Synthesis and Crystal Strukture of Cu(I) mixed-Ligand Complex [(Cu(dpa)(PPh ) ] CH CNCHCl  J. CJL .,Vol 3 NO   9,HAL 46-50.
Funahashi, Y.,K, Nakaya.,S. Hinota, dan O Yamauchi, 2000. Tetrahedral Distortion in Copper(II) Complx of (-)-Spartein and Its Affect on the Oxigen Adduct Formation. J, Chem Lett,  Vol, 1172-1173.
Huheey,   J.   E.,   E.A.   Keiter,   1993.   Inorganic   Chemistry: Principles   of   Structure and Reactivity, fourth Edition. Harper Collins Publishers. USA.964 hlm + Appendix
Raman, N. S Ravichandran, et al. 2004. Copper(II), Cobalt(II), Nickel(II), and Zink(II), and Vo(II) Schiff   base   Derived   from   o-phenildiamine   and   accetacetanilide.   J.   Chemistry   from Departement of Chemistry VHSN College, India. Vol. 116, hal: 215-219.
Zipora, S, Sintesis Ligan Campuran Bidentat dengan ion Logam Cu(II), karakterisasi Magnet dan   Indentifikasi    Struktur    kompleks    secara   difraksi   sinar-X   Prosiding   Seminar    Nasional   Kimia LP Unila 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar